Membahas tentang sensor, yang jadi top of mind kita mungkin adalah institusi bernama KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Salah satu tugas utama KPI adalah menyensor dan mengedukasi konten-konten yang sesuai dengan standar penyiaran dan layak dikonsumsi oleh warga Indonesia. Tapi medium KPI terbatas untuk radio dan televisi, belum sampai ke ranah digital seperti social media.

Satu pertanyaan standar tapi juga debatable adalah “apakah perlu ada satu institusi yang dedicated melakukan sensor di social media?”. Debatable karena jawabannya bisa jadi perlu dan tidak perlu. Bahkan jika jawabannya mutlak perlu, bagaimana caranya? Bukankah jika prosesnya konvensional: kurasi konten dengan review konten lalu memberikan status lulus sensor atau tidak, prosesnya mau berapa lama sedangkan konten di social media setiap detik selalu ada yang baru. Dan pastinya tentang apa kriteria konten yang dianggap “layak tayang”, “tidak pantas” atau “berbahaya” dikonsumsi netizen?

Apa Itu Sensor Konten?

Sensor konten adalah tindakan menghapus atau membatasi akses terhadap informasi tertentu, dalam hal ini adalah konten di platform social media. Biasanya, tindakan ini dilakukan oleh perusahaan untuk

  • mematuhi hukum
  • menjaga keamanan pengguna
  • mencegah penyebaran informasi yang salah

Dengan obyektif seperti itu, untuk pengguna yang positif jelas menyambut dengan baik, tapi yang membuatnya tidak berjalan mulus adalah cara dan alasan di balik sensor yang sering kali tidak transparan.

Contoh riilnya adalah yang dilakukan oleh Facebook, mereka memiliki algoritma yang secara otomatis mengidentifikasi konten yang dianggap melanggar pedoman komunitas mereka. Tapi algoritma ini tidak selalu akurat dan bisa saja menghapus konten yang sebenarnya tidak bermasalah, tidak cuma kontennya, tak jarang sampai ke akarnya alias akunnyapun dihapus secara sepihak. Menurut laporan dari Pew Research Center, sekitar 64% pengguna social media merasa bahwa platform tidak cukup transparan dalam kebijakan sensor mereka.

Penerapan Censorship di Berbagai Platform

Setiap platform social media memiliki pendekatan yang berbeda dalam menerapkan sensor konten. Di Twitter atau X misalnya, pengguna sering kali melihat label peringatan pada tweet yang dianggap mengandung informasi yang salah. Tapi walaupun ada upaya untuk memberikan konteks mengapa penggunanya mendapatkan peringatan, banyak pengguna merasa bahwa ini masih merupakan bentuk sensor dalam bentuk peringatan. Di sisi lain, Instagram lebih fokus pada penghapusan konten yang dianggap tidak pantas, seperti gambar yang mengandung kekerasan atau pornografi, secara otomatis akan langsung terhapus.

Salah satu studi kasus yang menarik adalah ketika TikTok menghadapi kritik karena menghapus video yang berkaitan dengan aksi protes yang terjadi di negara Hong Kong kala itu. Banyak pengguna TikTok di Hong Kong merasa bahwa tindakan ini merupakan bentuk sensor politik yang jelas dan tertarget. TikTok kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa mereka berkomitmen untuk menjaga kebebasan berekspresi, tetapi tindakan mereka sebelumnya telah menimbulkan keraguan di kalangan penggunanya. Ini menunjukkan bahwa walaupun platform berusaha untuk menjaga citra positif, tindakan mereka bisa berlawanan dengan apa yang mereka klaim.

Solusi untuk Masalah Sensor

Meskipun sensor konten di social media adalah masalah yang kompleks, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan transparansi dan keadilan dalam penerapannya.

  1. Perbaikan algoritma
    Platform social media perlu memperbaiki algoritma mereka agar lebih akurat dalam mengidentifikasi konten yang melanggar pedoman. Ini bisa dilakukan dengan melibatkan lebih banyak data dan sumber daya manusia dalam proses peninjauan, bukan hanya mengandalkan teknologi.
  2. Transparansi proses sensor
    Dari sisi non teknis yang tak kalah penting adalah platform perlu memberikan penjelasan yang jelas dan terbuka kepada pengguna tentang mengapa konten mereka dihapus. Dengan cara ini, pengguna dapat memahami kebijakan yang diterapkan dan merasa lebih dihargai.

Sepertinya platform sudah sangat paham tentang perhatian penggunanya tentang censorship. Hal teknis dan non teknis pasti bisa dijalankan tapi tentu tidak bisa cepat dan serta merta memuaskan banyak pihak. Selalu ada pro dan kontra, selalu ada celah yang seolah-olah membuat tidak adil. Sepertinya fitur self-censorship menjadi salah satu penjembatannya. Di beberapa platform social media kita bisa meminimalisirnya dengan pengaturan untuk menonaktifkan komentar, mendaftarkan kata kunci tertentu supaya tidak muncul di komentar. Bahkan di konten yang konten audio visualnya beragam seperti Instagram memberikan tombol “not interested” atau “tidak tertarik” untuk setiap konten supaya jika kita memilihnya, konten tersebut dan yang serupa tidak akan dimunculkan di timeline akun kita.

Sensor kadang bisa bersifat subyektif dan tergantung preferensi, karena selalu ada 2 sisi yang bersebelahan. Kegiatan positif yang megedukasi, di sisi lain melihat itu adalah kekerasan yang didokumentasikan. Sketsa yang sedang mengedukasi tentang parenting, di sisi lain ada yang mengatakan itu tidak pantas dipublikasikan, padahal jelas itu skenario dan fiktif. Hal-hal seperti itu yang membuat proses censorship menjadi kompleks. Dan bayangkan jika censorship konten dilakukan satu per satu manual oleh manusia, butuh berapa lama? Yang jelas sensor di social media adalah isu yang tidak bisa diabaikan. Tidak kooperatif juga jika semua porsi ada di platform, regulator atau pemerintah juga pasti ada andil, terpenting dan utama adalah kita sebagai pengguna yang mengharapkan kebebasan berekspresi selama itu positif dan bisa dipertanggunjawabkan.

Share This

Share This

Share this post with your friends!