Pernahkah bapak atau ibu guru “biasa” menjadi inspektur upacara?’
Biasanya, yang menjadi inspektur upacara adalah petinggi sekolah. Bisa kepala sekolah atau wakil kepala sekolah. Tapi bagi sekolah tertentu, kadang memiliki kebijakan tersediri. Memberikan kesempatan kepada seluruh guru sebagai inspektur upacara. Salah satu tujuanya adalah untuk melatih public speaking bagi guru tersebut.
Pernah suatu hari, ada guru fisika yang menjadi inspektur upacara. Salah satu sosok guru yang diidolakan oleh siswa karena nasihat-nasihatnya. Amanat yang disampaikan pun berkesan. Hingga selesai amanat, peserta upacara tanpa ada instruksi bertepuk tangan atas apresiasi amanat yang berkesan.
Tentu berdasarkan aturan, tepuk tangan sewaktu upacara adalah hal yang tidak dianjurkan. Karena peserta upacara harusnya disipilin dengan aturan. Tapi reaksi tersebut adalah apresiasi spontan dari peserta upacara karena ketidakbiasaan dan suatu hal yang berkesan.
Hal-hal biasa yang sering dilakukan seringkali membosankan. Tidak ada inovasi, hanya sekadar menjalani rutinitas saja. Padahal momen tersebut bisa menjadi salah satu momen terbaik untuk mengumpulkan dan menyatukan suara.
Kepala sekolah yang biasanya hanya memberi instruksi, perlu mengevaluasi komunikasinya. Karena siswa, bahkan rekan majelis guru sudah jenuh dengan instruksi. Mereka butuh inspirasi.
Bukan hanya upacara saja. Bahkan rutinitas pekanan lelaki Muslim pun seperti itu. Apa itu? Shalat Jumat.
Shalat jumat adalah kewajiban bagi setiap lelaki Muslim. Bahkan ada ancaman yang begitu besar apabila melewati shalat Jumat tiga kali tanpa alasan syar’i, hukumannya adalah kafir. Ancaman yang besar atas sebuah rutinitas pekanan. Tapi kenapa? Bukankah shalat Jumat “hanya” shalat jamaah yang di hari Jumat yang diselipkan dengan khutbah saja?
Sebagian besar dari kita mungkin melihat hanya sebatas itu saja. Maka tidak heran saat khutbah Jum’at banyak jamaah yang tertidur. Entah karena kecapekan, kualitas sound system masjid, atau memang khutbah-nya yang membosankan.
Khutbah Jumat harusnya menjadi sarana menyatukan dan menggerakkan umat. Lelaki Muslim yang bukan hanya butuh untaian kata, tapi inspirasi untuk berbuat sesuatu setelah khutbah tersebut. Inspirasi yang bisa dibagikan kepada orang lain, terutama keluarga di rumah.
Pertanyaannya, bagaimana caranya menjadikan khutbah Jumat yang berkesan? Berikut adalah beberapa tips yang bisa dilakukan.
1. Ikuti Aturan Syariat
Aturan pertama yang tak boleh dilewatkan. Jangan sampai hanya karena ingin memberikan kesan, tapi aturan malah terlewatkan. Aturan syariat tersebut adalah rukun khutbah seperti ucapan alhamdulillah, syahadat, shalawat, nasihat takwa, dan ayat Quran.
2. Jangan Terlalu Lama
Khutbah Jumat disunnahkan untuk tidak terlalu lama. Bahkan sebaliknya, khutbah dipersingkat dan bacaan shalat diperpanjang. Tapi bukan berarti khutbah singkat tapi mereduksi makna.
Coba pikirkan, kira-kira dalam waktu 20 menit hal penting apa yang ingin disampaikan. Fokus pada hal penting, bukan untuk menyampaikan sebanyak-banyaknya. Karena bukan berarti yang banyak itu hal penting.
3. Mudah Diingat
Banyak jamaah shalat Jumat ketika ditanya “tadi khutbah Jumat tentang apa?” tidak bisa menjawab. Paling jawaban yang standar seperti “pokoknya bagus”. Tapi penjelasan bagus itu tentang apa tidak bisa disampaikan ulang.
Salah satu cara agar khutbah diingat oleh jamaah adalah dengan membuat poin per poin. Misalkan 3 cara agar hidup bahagia. Sampaikan satu demi satu dan ulangi di akhir khutbah sebagai pengingat. Sehingga saat usai khutbah, jamaah bisa mengulangi 3 poin utama dengan gaya penjelasannya masing-masing.
4. Konteks Khutbah dengan Kondisi Umat
Salah satu yang menjadi evaluasi penting saat khutbah Jumat adalah kepekaan khatib memilih topik. Seringkali topik yang dibahas hanya itu-itu saja. Padahal kondisi umat sedang tidak baik-baik saja. Ada berapa banyak khatib yang berkomentar saat isu RUU HIP yang terindikasi PKI beredar? Ada berapa banyak khatib yang mengangkat Palestina sebagai isu utama?
Bagi sebagian khatib, mungkin sudah diberikan aturan topik khutbah harus seperti apa. Tapi kepekaan khatib dan DKM penting untuk disinergikan agar khutbah Jumat yang hanya sekali sepekan bisa menjadi penggerak kekuataan umat.
Khutbah Jumat memang sekali sepekan. Tapi cara pandang kita dengan agenda tersebut harusnya bukan hanya rutinitas pekanan, tapi momentum penggerak. Maka jadikanlah narasi dan penyampaikan khutbah Jumat yang berkesan. Bagi khatib, DKM, dan yang punya kuasa atas hal tersebut, selamat menggerakkan!