Kehidupan anak asrama memang menarik. Hidup 24 jam bersama teman seangkatan, kakak, dan adik.
Hidup bersama dengan waktu yang relatif lama dibandingkan bersama orangtua di rumah mau tidak mau harus membuat diri beradaptasi. Jika ada kendala apa-apa, tidak bisa manja dan mengandalkan orangtua. Diri sendiri harus bisa menghadapi. Jika dirasa sulit, ada teman yang bisa membersamai. Jika dirasa teman seangkatan tidak bisa, masih ada kakak tingkat bahkan adik tingkat sebagai tempat bertanya pendapat.
Kakak adik di asrama pada dasarnya bisa menjadi kolaborasi yang apik. Lantas, apa saja yang bisa dihadirkan bersama?
1. Mentoring
Mentoring adalah proses membersamai. Memberikan informasi dan ilmu, tapi tidak lepas begitu saja. Kakak tingkat sebagai penyampai akan lebih baik bisa membersamai adik tingkat sebagai penerima.
Mentoring dalam grup kecil biasanya diberikan untuk memberikan ilmu serta melihat proses pertumbuhan. Contoh kongkritnya dalam kehidupan asrama lebih kurang seperti ini:
- Grup mentoring terdiri dari 1 mentor kakak tingkat dan 10 mentee adik tingkat
- Tujuan mentoring adalah untuk menambah hafalan Quran
- Setiap harinya, mentee secara bergantian menyetorfkan hafalannya ke kakak tingkat
- Sekali dalam sepekan, grup mentoring berkumpul untuk saling bercerita
- Cerita yang disampaikan bisa berupa kendala yang dihadapi, berbagi motivasi, hingga hal-hal sederhana sebagai penghangat suasana
Teknis mentoring bisa menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan masing-masing. Bukan hanya untuk materi keagamaan saja. Mentoring di kehidupan asrama bisa juga untuk bidang lainnya seperti olimpiade, perlombaan, dan organisasi.
2. Keluarga Asuh
Kehidupan asrama yang jauh dengan orangtua dan keluarga di rumah adalah cerita tersendiri bagi anak asrama. Ada yang begitu berat melewatinya, ada juga yang dengan ringan menghadapinya. Entah itu jadi beban atau kenikmatan, diri sendiri yang menentukan.
Jauh dari keluarga di rumah bukan berarti antipati dengan keluarga baru di asrama. Pembina asrama bahkan bisa membentu keluarga asuh yang terdiri dari siswa lintas angkatan. Jika sekolahnya tingkat SMA, maka ada siswa kelas 10, 11, dan 12.
Siswa dengan lintas angkatan ini bisa membentuk keluarga kecil seperti halnya keluarga sebenarnya. Ada yang berperan sebagai bapak yang memberikan visi keluarga, ibu yang menjadi madrasah, kakak yang menjadi teladan, hingga adik yang mengikuti arahan.
Setiap keluarga asuh seperti halnya kelompok kecil yang membersamai proses berjalannya hidup. Menghadapi tantangan bersama, bercerita, hingga berbagi motivasi untuk berprestasi.
Sistem keluarga asuh bisa membentuk anak memiliki tanggungjawab keluarga sejak dini. Hingga saat kembali ke rumah bersama keluarga sesungguhnya, ada perubahan nyata yang dirasakan oleh orangtuanya. Bahkan kelak jika mereka mulai membangun keluarga, tidak canggung lagi dengan kehidupan keluarga baru.
Sistemnya tentu bisa menyesuaikan. Tidak harus persis sama. Apalagi jika pesantren berasrama yang siswa dan siswa dipisahkan. Jangan sampai keluarga asuh malah menjadi modus penumbuh rasa. Yang niat awalnya adalah belajar, malah menjadi pacaran syar’i. Jangan sampai ya.
Ada banyak sistem lain yang bisa dibentuk agar hadirnya kolabor asik apik antara kakak dan adik di asrama. Ada ide menarik lainya?