Suatu hari, ada nasihat yang muncul di timeline social media.
“SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, tambah kuliah 4 tahun. Sekolah 16 tahun tapi masih buang sampah sembarangan. Jadi, di sekolah belajar apa?”
Kalimat ini benar adanya. Kalaulah akhlak yang baik gagal terbentuk selama sekolah formal, bisa jadi ada yang salah dengan sistem pendidikan sekolah formal. Ini adalah PR besar yang akan panjang jika didiskusikan.
PR lainnya adalah, apakah sekolah formal selama 16 tahun yang biasanya didominasi oleh pelajaran umum bisa diseimbangkan dengan pelajaran agama? Hal inilah yang menjadi kekhawatiran besar bagi orangtua. Orangtua ingin anaknya shalih, tapi disekolahkan dengan sekolah yang kurikulum pendidikan agamanya sangat minim. Tentu cara yang diputuskan tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Kasus lainnya, masih tentang harapan orangtua agar anaknya shalih. Anggap saja anak sudah disekolahkan di pesantren atau sekolah dengan pelajaran agamanya yang cukup dominan. Tapi ketika anak pulang ke rumah, suasana belajar dan penerapan agamanya tidak dapat dirasakan di rumah. Apa yang dirasakan di sekolah jauh berbeda dengan apa yang ada di rumah. Padahal sudah seharusnya sekolah dan rumah sama-sama menjadi tempat belajar. Bukan hanya bagi anak saja, tapi juga orangtua. Rumah yang menjadi rumah belajar bagi keluarga. Bahkan bukan hanya belajar perihal pengetahuan umum saja. Termasuk juga pelajaran agama.
Allah telah menurunkan agama Islam sebagai agama yang mudah untuk dipahami. Tapi pertanyaannya, apakah manusia sudah berpikir? Coba saja baca lembaran Al-Quran. Banyak ayat yang diakhiri dengan “apakah kamu tidak berpikir” banyak kita temui. Tentu, bukan hanya berpikir yang dibutuhkan untuk memahami agama. Penting juga bagi kita sebagai hamba Allah untuk membuka dan merendahkan hati agar hidayah Allah berikan kepada kita.
Sebagai upaya pemahaman agama, secara tersistem Allah telah membuat kurikulum agar kita belajar agama setidaknya sekali dalam sepekan. Kapan? Setiap shalat Jumat, khususnya bagi laki-laki. Allah “memaksa” hamba-Nya untuk mengikuti kajian minimal sekali sepekan. Nah, hal sedikit yang sudah didapatkan jangan hanya terhenti bagi diri sendiri saja. Minimal, sampaikan kepada keluarga. Misalkan di malam hari seusai pulang kerja. Seorang ayah bisa berkata,
“Tadi ayah pas shalat Jumat, khatibnya menyampaikan pesan yang begitu menarik. Khatibnya mengutip surat At-Tahrim ayat 6 yang mengajarkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Jaga diri diri sendiri didahulukan, lalu memastikan keluarga pun ikut aman. Kalau begitu, seharusnya kita punya mimpi bersama ya. Resolusi kita bukan hanya jalan-jalan keliling dunia. Tapi juga masuk surga sekeluarga. Gimana, setuju?”
“Setuju yaaaahh.”
Kemampuan komunikasi semacam inilah yang dibutuhkan agar kajian bukan hanya terhenti di pikiran. Tapi mampu mengalirkan menjadi semangat untuk berbuat lebih baik. Baik secara individu, atau sosial dan keluarga.
Tentu tidak cukup untuk mengikuti kajian hanya sebatas shalat Jumat saja. Waktu kita untuk belajar agama sangat tidak adil dibandingkan kita mempelajari dunia. Maka sudah sebaiknya kita membuat kurikulum khusus untuk memahami agama. Jauh lebih baik jika bisa didampingi oleh guru.
Datangilah kajian offline. Karena dengan offline yang bernama majelis ilmu, ada banyak keutamaan. Salah satunya malaikat yang turut mendoakan mereka yang hadir.
Jika dengan segala kesibukan kajian offline sulit didatangi, milikilah waktu khusus untuk mendengar kajian secara online. Semoga Allah mampukan hati kita untuk lebih memahami tuntunan agama dan masuk surga sekeluarga. Aamiin.