Dalam sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, kita sangat dianjurkan untuk melaksanakan itikaf di masjid. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dijalankan oleh Rasulullah Saw.

Itikaf sebenarnya tidak hanya dilakukan di bulan Ramadan saja. Akan tetapi, paling utama (paling afdhal) dilaksanakan pada bulan Ramadan, dan lebih bagusnya di malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadan. Karena Itikaf di bulan Ramadan bisa dikatakan sebagai ruang perawatan khusus untuk menghilangkan dosa dari dalam hati. Dan konon Rasulullah selalu melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

Itikaf sendiri ialah berhenti/berdiam di dalam masjid dengan syarat-syarat tertentu, dengan semata-mata untuk niat beribadah kepada Allah Swt. Jika menurut Bahasa, itikaf berasal dari kata “akafa” yang bermakna “memenjarakan’. Dikutip dari Rumah Fiqih Indonesia, itikaf merupakan ibadah dengan memenjarakan diri di dalam masjid. Orang yang beritikaf menyibukkan diri dengan pelbagai ibadah baik sholat, zikir, maupun membaca Alquran.

Terkait hukumnya, ijmak ulama menyatakan itikaf adalah sunah. Tetapi, masing-masing ulama berbeda pandangan mengenai derajat kesunahan itikaf.

Mazhab Hanafi menghukumi itikaf di 10 hari terakhir sebagai amalan sunah muakkadah. Artinya, ibadah ini sangat dianjurkan.

Mazhab Maliki menghukuminya mandub muakad, bukan sunah. Mandud yaitu segala sesuatu yang dijalankan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan siksa.

Mazhab Syafi’i memandang itikaf dikerjakan kapanpun adalah sunah muakad. Sedangkan Mazhab Hambali memandang itikaf adalah sunah, dan lebih tinggi sunahnya jika dikerjakan di bulan Ramadan.

Sebelum melakukan itikaf, penting bagi kita untuk mengetahui syarat dan rukunnya terlebih dahulu, antara lain sebagai berikut:

Pertama, niat, dalam i’tikaf harus ada niat sehingga orang yang melakukannya paham apa yang harus dilakukan. Bahkan jangan sampai melamun, dan pikiran kosong.

Kedua, diam di dalam masjid dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang beri’tikaf. Sebagaimana firman Allah SWT

…Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.
(QS Al-Baqarah: 187).

Orang yang melakukan i’tikaf harus muslim, berakal, suci dari hadas besar (ada pendapat yang mengatakan bahwa hadas kecil juga membatalkan i’tikaf), dan harus di masjid.

I’tikaf sangatlah dianjurkan dilakukan pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, karena dimaksudkan untuk mencari malam lailatul qadar, malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Hal ini pun telah diajarkan oleh Nabi Saw. sebagaimana yang pernah disampaikan oleh istrinya, Aisyah ra:

Bahwasannya Nabi saw. selalu beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai Allah memanggilnya, kemudian istri-istrinya meneruskan i’tikafnya setelah itu.
(Muttafaqun ‘alaih)

Di dalam hadis tersebut, juga mengindikasikan dibolehkannya bagi perempuan untuk beriktikaf. Karena digambarkan bahwa para istri Nabi Saw. melakukan i’tikaf sepeninggal Nabi Saw.

Namun, di dalam kitab Ibanatul Ahkam syarh Bulughil Maram karya Sulaiman An Nuri dan Alawi Abbas al Maliki disebutkan bahwa dibolehkannya i’tikaf bagi perempuan di dalam masjid dengan syarat telah mendapatkan izin dari suami dan jika terhindar dari fitnah.

Ibnu Mundzir dan ulama’ lainnya sebagaimana yang telah dikutip oleh imam Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari ketika mensyarahi hadis tersebut mengatakan bahwa perempuan tidak boleh i’tikaf sampai meminta izin kepada suaminya. Jika perempuan tersebut beri’tikaf tanpa meminta izin, maka suaminya boleh menyuruhnya keluar dari i’tikaf.

Demikianlah penjelasan mengenai Itikaf. Sekali lagi I’tikaf ini hukumnya sunah dan tidak harus pada bulan Ramadhan, boleh dilakukan pada bulan apa saja, yang penting orang yang melakukannya memahami apa itu i’tikaf.

Share This

Share This

Share this post with your friends!