Tidak terasa, hampir setengah tahun kondisi pandemi terjadi di negeri ini. Berbagai protokol kesehatan pun harus dipatuhi. Menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, menghindari sentuhan fisik dan berbagai peraturan baru dijalani. Bagi sebagian orang, kondisi ini seperti di penjara.
Penjara?
Mungkin tak persis sama rasanya. Tapi dengan segala peraturan yang harus dijalani, membuat aktivitas kita terbatas. Tidak bisa lagi kumpul secara bebas di café. Berolahraga pun diberi jarak dan dibatasi jumlahnya.
Sebagian lain masih ada yang takut untuk keluar rumah. Banyak beraktivitas di rumah saja, seperti anjuran pemerintah pada awalnya. Cara kerja pun mulai berubah, work from home mendominasi. Bagi pelajar pun sama. Belajar jarak jauh secara online.
Mungkin kitta tidak nyaman karena tidak bisa kembali seperti sedia kala. Tentu kita berharap untuk kondisi terbaik. Bumi lebih bersih, manusia pun lebih peduli. Tapi mari kita maknai kondisi ini. Sudah berbuat apa kita? Apakah keterbatasan membuat upaya kebaikan kita juga terbatas?
Penjara dunia. Kondisi pandemi seperti penjara tanpa ruang. Kita masih bisa melakukan ini itu dengan keterbatasan. Tapi coba bayangkan, jika fisik kita benar-benar dipenjara di sebuah ruangan, bisa apa kita?
Kisah Buya Hamka layak menjadi contoh bagi kita. Sosok ayah bangsa yang memberikan keteladanan dan hikmah walau fisiknya tidak ada lagi di dunia. Tapi amalan dan karyanya masih dirasakan hingga kini Lebih dari seratus judul buku tersebar luas. Bahkan salah satu karyanya yang paling fenomenal lahir dari penjara, Tafsir Al-Azhar.
Suatu hari entah karena alasan apa, Buya Hamka dipenjara oleh rezim yang berkuasa. Mungkin pada awalnya kita berpikir penjara dengan sel tahanan seperti pada umumnya. Anaknya pun berkisah, bukan penjara seperti itu ternyata. Salah satu video yang bisa disimak adalah video berikut di menit 47-an.
Buya Hamka memiliki gangguan fisik atas kesehatannya. Tidak bisa tahan dalam kondisi dingin. Maka ditahanlah Buya Hamka di rumah tahanan. Cipanas dan Mega Mendung adalah beberapa lokasinya. Tapi apa yang beliau lakukan saat ditahan? Apakah beribadah dan berdoa saja agar kondisi membaik seperti sedia kala? Ternyata tidak. Beliau tetap berkarya. Bahkan dalam kondisi 2 tahun 4 bulan, beliau menyelesaikan 27,5 juz Tafsir Al-Azhar. Jika dalam kondisi bebas beliau hanya bisa menyelesaikan 2,5 juz saja, tapi dalam kondisi terbatas beliau bisa menyelesaikan mahakaryanya.
Bukan hanya Buya Hamka. Banyak ulama lain yang menyelesaikan karyanya di penjara. Sayyid Qutb adalah contoh lainnya. Menyelesaikan Tafsir Fil Zilal Quran dari penjara.
Ada banyak karya dan kerja lain yang dikerjakan oleh alim ulama dan para da’i dari penjara. Ada yang berdakwah kepada para tahanan. Ada juga yang membuat lingkaran kajian di penjara. Keterbatasan tidak membuat mereka untuk terbatas pula dalam berbuat baik.
Keterbatasan pun memberi hikmah. Mungkin kita tidak bisa melakukan segalanya seperti biasa. Tapi kita bisa lebih fokus untuk melakukan beberapa hal, bahkan menyelesaikan apa yang selama ini masih setengah jalan.
Kondisi pandemi dengan aturan new normal sudah berjalan. Kita belum bisa beraktivitas seperti biasa. Tentu, kita berharap untuk kondisi pulih seperti sedia kala. Tapi kita tidak tahu kapan waktu itu akan tiba. Menunggu tanpa berbuat apa-apa tentu sia-sia juga rasanya. Maka berbuat saja apa yang bisa kita buat sekarang. Berbuat yang terbaik, menyebarkan kebaikan, fokus mencari celah dari keterbatasan.
Jika ulama tetap bekerja dan berkarya nyata walau fisik terpenjara, bagaimana dengan kita? Banyak peran-peran kebaikan yang bisa kita lakukan.